"Rumah kita ini adalah rumah tanpa tangga. buat apa kita bersusah susah untuk diam di dalamnya!", Bayu mengeluh sambil menghembuskan nafasnya. Matanya menerawang jauh, memandang perbukitan di hadapannya, perbukitan Menoreh.
Sedangkan Asih yang duduk bersimpuh di batu hitam sebelah Bayu duduk, terdiam saja. Sebenarnya Asih ingin mengungkapkan pendapatnya tentang pernyataan Bayu tadi. Tapi dia justru mengunci mulutnya rapat rapat, mencegahnya untuk bersuara. Karena apapun yang dia katakan, dalam suasana seperti ini, tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan akan membuatnya semakin tambah runyam dan tak berujung henti.
"Coba kau lihat, pandang dia baik baik. Mana ada rumah yang seperti ini? Rumah yang tanpa tangga! Membuat kita harus bersusah payah dahulu untuk memasukinya, mengendap endap, kemudian menaiki tiangnya dengan perlahan, agar dapat memasuki pintu belakangnya. Bahkan, rumah kita ini tidak memiliki pintu depan!" Kembali Bayu berteriak kesal mengomentari rumah panggung kayu sederhana yang ada di belakangnya.
Asih tersenyum saja.Dia tahu bahwa badan Bayu telah lecet-lecet ketika akan masuk rumah mereka. Bahkan kepalanya pun telah beberapa kali terantuk pintu. Sangat gaduh teriakan Bayu setiap kali memasuki rumah mereka, mengeluhkan perjuangan yang harus dihadapinya, untuk menemui Asih, yang ada di dalam rumah mereka.Walaupun sebenarnya, perjuangan yang Bayu lakukan pun dialami oleh Asih. Karena tiang itu adalah satu-satunya media pembantu untuk memasuki rumah itu, dan pintu rumah memanglah dibuat sedemikian pendek, hingga bagi laki-laki jangkung seperti Bayu, resiko terantuk pintu sering harus diterimanya.
Rambut Asih yang panjang tertiup angin. Dia kembali tersenyum. Biarpun berkali kali selalu mengeluh, Bayu tidak pernah kapok untuk datang ke rumah mereka dan bertemu dengan Asih disana. Sedangkan Asih, selalu setia menunggu Bayu dengan mata rindunya.
Sebagai pencari ikan yang menebarkan jala di sungai-sungai di sekitar wilayah itu, Bayu bukanlah orang yang cukup kaya untuk membangun rumah gedong berbatu yang diimpikannya untuk Asih. Rumah tanpa tangga itu adalah gubug yang ditinggalkan orang yang merambah hutan menjadi kebun dan kebetulan dia lewati saat tertatih tidak mendapatkan ikan hari itu. Ternyata Tuhan Maha Pemurah, meski tidak mendapatkan ikan, dia mendapatkan rumah itu, untuk tempat tinggal Asih, istri yang dia nikahi dengan alam sebagai saksinya. Asih memang sudah tinggal sebatang kara. Dan menikah dengan Bayu, bagaimanapun jua, merupakan cahaya lembut yang menerangi hatinya.
"Seharusnya kau bikinkan tangga saja kang, di belakang rumah kita ini. MUngkin kau bisa anyam, tali dari sulur pohon di hutan sana."saran Asih perlahan.
Bayu mengerti, sebenarnya membuat tangga tali itu tidaklah susah, atau dia bisa saja meminta tolong orang kampung untuk membuatkannya. Tapi Bayu selalu tidak berani menghadapi segala mata tanya, orang-orang di kampungnya. Toh dia hanya pencari ikan yang papa, yang belum tentu mendapatkan cukup ikan untuk dijual, meski seharian kakinya telah terendam arus coklat sungai di selatan kampungnya itu.
Bertemu dengan Asih di rumah tanpa tangga itu merupakan suka citanya. Segala lagu dan tarian yang pernah dilihatnya di pesawat televisi tetangganya tidak pernah mampu menyaingi merdu lagu hatinya. Asih yang penuh kasih, yang tubuh mungilnya selalu terlihat ringkih mencari lindungannya. Asih yang membuatnya merasa seperkasa Bima dan setampan Arjuna. Asih pulalah yang terkadang membuatnya merasa sebijak Puntadewa. Sebagai lelaki, kesempurnaanya adalah ketika berhadapan dengan Asih. Asih yang memenuhi relung kasih di dalam dirinya.
"Hari ini kenapa suasana hatimu tidak sesenang biasanya kang?" lembut Asih berusaha mengorek keresahan Bayu yang meletup siang ini, ketika mereka saling bertemu.
Bayu tidak mampu mengelak, kekesalannya pada rumah tanpa tangga mereka adalah karena sebab lainnya, sebab yang tidak ada hubungannya dengan rumah itu sendiri.
"Bukankah dari dulu kamu sudah tahu, bahwa rumah milik kita ini tidak pernah memiliki tangga. Dan kita tidak pernah mempermasalahkannya selama ini!" sambung Asih.
Asih teringat ketika kala itu Bayu membawanya ke rumah itu, dan mengatakannya bahwa rumah rumah tanpa tangga itulah mereka akan membina sebuah kasih sayang. Kasih sayang yang direstui oleh alam dan hati mereka.
Di depan rumah itu pulalah mereka membuat sebuah upacara pernikahan sederhana, sebuah janji untuk saling menyayangi dan menjaga seumur hidup. "Sama saja", kata Bayu waktu. "Justru pernikahan kita lebih agung, karena alam yang luas di punggung Bukit Menoreh inilah yang menjadi saksi kita!"
"Aku tadi bertemu dengan Pak Arief yang tinggal di perbatasan kampung. Rupanya dia sering memperhatikan aku yang melewati jalan kecil menuju rumah kita ini" cerita Bayu. "Dan hari ini dia mulai bertanya tanya padaku mengenai tujuanku. Aku sangat tidak suka, tapi aku juga takut kalau dia akan curiga dan menguntitku sampai ke rumah kita ini."
Asih tahu bahwa keberadaannya di rumah tanpa tangga ini adalah sebuah rahasia. Tidak bagus ceritanya apabila ada orang kampung yang kemudian menemukannya. Apalagi menemukan dia berduaan bersama Bayu.
"Mari kita pindah dari rumah ini saja Kang. Kita cari gubug lain di tengah hutan. Atau Kang Bayu bisa membawaku pergi ke tempat lain yang jauh. Tempat dimana orang-orangnya tidak mengenal kita berdua!"
Asih merasa ngeri bila persembunyiannya ini ditemukan oleh orang di kampungnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Bayangan ruang penjara yang gelap serasa sudah di depan matanya.
Andaikan dia bisa memutar waktu kembali. Dia tidak ingin membiarkan Radit, anak ketua Kampungnya, mandi di tepi danau itu. Anak lincah dan berani itu memang tidak menggubris larangan Asih untuk jangan berenang ke tengah dan membuatnya kehilangan nyawanya.
Dalam kebingungan dan ketakutannya, Asih menemukan Bayu yang menolongnya melarikan diri dari penduduk kampung, dan menyembunyikannya di rumah tengah hutan ini.
Apabila ada penduduk kampung yang menemukan dia, berarti tamatlah sudah riwayat hidupnya di dunia ini. Asih sungguh menyesal bahwa kedamaiannya dalam kasih sayang dan perlindungan Bayu selama dua tahun ini, harus berakhir pada akhirnya.
"Sudahlah, kita pikirkan nanti saja. Sebaiknya hari ini aku kembali lagi saja ke kampung dan terpaksa tidak mengunjungimu dulu dlam waktu seminggu, untuk menghilangkan kecurigaan warga kampung!" Bayu membuat keputusan yang cukup mengejutkan Asih. Bagaimana dia dapat hidup seminggu tanpa melihat Bayu? Meski simpanan bahan makanan yang dibawa Bayu lebh dari cukup untuk menghidupinya lebih dari seminggu, tetapi seminggu tidak melihat kehadiran Bayu adalah sebuah siksaan yang tidak terperikannya.
Tapi sekali lagi, dia tidak ingin membantah keputusan pelindung sekaligus suaminya tersebut. Dan membiarkan Bayu pergi meninggalkannya, kembali pada istri dan ketiga anaknya yang tinggal di kampung itu.
Sepeninggal Bayu, Asih merenungi nasibnya yang tidak pernah beruntung sejak dia dilahirkan. Ditinggal mati oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Dia tumbuh besar dengan menumpang hidup pada kepala kampung sambil membantunya mengasuh anak semata wayang mereka. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa mandi di danau yang sudah sering dilakukan oleh Radit sebelumnya, hari itu membuat Radit kehilangan nyawanya.
Ah, anak yang tampan, lucu dan pemberani itu....andaikan Radit dulu mematuhi larangannya! tapi smuanya telah menjadi bubur, anak itu telah dua tahun bersemayam di tanah. Meski seringkali, pada malam-malam hari, Asih masih sering menemuinya, lewat mimpi-mimpi berpeluhnya.
Sepeninggal Bayu, kembali rasa sepi menggerogoti Asih. Biasanya, rasa sepi itu dapat ditumpasnya dengan janji Bayu yang esok hari selalu mampir menengokinya, dengan mata rindunya, ketika dia mencari ikan di sungai selatan kampungnya itu. Dan rasa sepi seakan penuh dengan nyanyian harapan. Dan rasa sepi seakan penuh dengan bunga kebahagiaan.
Namun saat Bayu menyatakan akan meninggalkannya dalam waktu seminggu. Tiba-tiba saja hati Asih serasa berongga. Angin angin rindu dan kepedihan serta kecemasan dan ketakutan serasa sangat bebas keluar masuk di hatinya. Dan rumah tanpa tangganya serasa sangat gelap, selaksana kotak hitam yang akan menguburnya.
Sehari tidak ditengok oleh Bayu, masih saja ada harapan di diri Asih, bahwa Bayu tidak akan sekuat itu tidak bertemu dengannya. Sepanjang hari, dipandanganinya belukar di sebelah timur rumahnya itu, sebagai pintu gerbang apabila Bayu datang. Namun belukar itu tidak gemerisik....tidak ada yang melewatinya, kecuali angin. Sampai malam menjelang, Asih hanya menatapnya dengan kecewa. Rupanya Bayu memang tidak datang hari ini.
Ketika fajar menyingsing di pagi hari, lagi-lagi harapanpun terbit di hati Asih, bahwa Bayu akan mengunjunginya hari ini.
Sayangnya harapan-harapan Asih hanyalah harapan kosong belaka. Tidak ada Bayu yang datang. Bahkan ketika waktu seminggu yang dijanjikannya telah habis, Bayu tetap saja tidak datang unutk menjenguk Asih.
Kepedihan dan tangisan saat ini benar benar merupakan teman tersetia Asih. Rasanya gairan hidupnyapun telah hilanng entah kemana. Buat apa bertahan hidup di rumah persembunyian ini, apabila nafas dan cahaya kehiduipan yang selama ini setiap hari menyinarinya, telah tidak lagi datang menjenguknya.
Sementara Asih tidak pernah berani kembali ke kampung itu, untuk mencari Bayu. Karena kesedihan yang dialami kepala kampung karena kehilangan anaknya, masih selalu mengancamnya dengan jeruji penjara.
Seminggu, mencapai genap sebulan. Entah berapa ribu kali sudah tiang yang berfungsi sebagai tangga itu dia naiki dan turuni. Dada, kaki dan tangannya sudah tebal sehingga dia dapat dengan lincah turun naik tanpa lagi mengalami parut luka. Kadang Asih berjalan sampai ke perbatasan hutan, untuk menjemput Bayu datang. Tetapi, selalu dia kembali dengan kecewa. Tidak ada suara berat Bayu yang memanggilnya dengan penuh kasih sayang.
-------------------
Bayu meresak ke tengah-tengah orang yang berkumpul di warung kopi pagi itu. Tampaknya penduduk kampung tengah hutan yang sunyi ini terasa sangat riuh dengan banyaknnya oranng yang membicarakan hal yang sama, tentang tertangkapnya Asih oleh penduduk kampung, saat bersembunyi di jalan kampung mereka yang berbatasan dengan hutan. Mereka menceritakan bahwa Asih telah digelandang ke Balai Kampung dan ke kantor polisi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya dua tahun yang lalu, atas kelalaiannya yang menyebabkan meninggalnya anak kepala kmpung mereka.
Hanya Bayu yang tahu kepada Asih tiba-tiba bisa berada di pinggir kampung setelah dua tahun menghilang ditelan bumi, saat dia menengok rumah tanpa tangga mereka yang telah tinggal arang belaka. (Cikini, 30 Mei 2012)