Selasa, 31 Juli 2012

TENTANG KAKEKKU

Saya memiliki 3 kakek. Ayah dari bapakku, ayah dari ibuku dan suami dari nenekku. Nah...dari mereka itu, hanya ayah dari bapakku yang aku belum pernah bertemu, hanya fotonya saja yang dapat saya lihat, setia terpampang di dinding kamar bapakku.

Ayah dari bapakku ini dulu adalah petani merangkap pedagang tembakau, bila musim tembakau tiba. Orang bilang, beliau itu "juragan tembakau". Rumah kami yang terbuat dari kayu sering dipergunakan untuk menyimpan tumpukan tembakau yang termuat dalam keranjang-keranjang, sebelum disetorkan ke boss nya kakeknya yang tinggal di Purwokerto, demikian konon cerita dari bapak.

Kakekku meninggal sebelum aku lahir waktu itu, bahkan sebelum bapakku mengenal ibuku. Tapi dari foto tuanya, aku bisa membayangkan bahwa kakek dulu adalah seorang pria tampan yang berperawakan tinggi di masa mudanya.

Berdasarkan cerita dari bapak, Mbah Sastro -nama kakekku itu- adalah pedagang tembakau pekerja keras dan jujur. Jarak dari Kendal ke Purwokerto tergolong lumayan jauh, ditempuh dengan kereta yang ditarik sapi, untuk membawa tembakaunya. Entah berapa lama perjalanan yang ditempuh saat itu dengan jarak yang saat inipun harus ditempauh 5 jam dengan kendaraan bermotor.

Bapak pernah cerita juga mengenai 'jaman rampokan" yang dilewati kakek dengan selamat. Pada masa itu, perampok sangat banyak berkeliaran dimana-mana sehingga orang yang memiliki harta barang sedikitpun, tak luput dari perampok itu. Namun kakekku dapat mempertahankan amanah tembakau yang tersimpan di dalam rumah, sehingga ketika jaman telah tenang kembali, kakek mengirimkan tembakau tersebut utuh kepada boss nya. Tentu saja boss dari kakek sangat terkejut karena tidak menyangka bahwa tembakaunya  tetap utuh terjaga. Bisa saja kakekku menjual tembakau itu dan melaporkan telah dirampok orang. Namun kakekku tidak mau melakukan tindakan tidak terpuji tersebut.

Kakekku juga sangat sederhana orangnya. Beliau pernah ditawari oleh bossnya untuk mengubin lantai rumahku, dengan dibiayai oleh bossnya. Namun dengan rendah hati kakekku menolaknya, karena dia merasa sebagai petani, dia tidak layak punya rumah yang berlantai ubin seperti para juragan petinggi itu. Lantai dari bata merah yang ditata dianggap sudah cukup bagi kakekku.

Menurut Bapak, kakekku bukan termasuk petani yang kaya pada mulanya, namun dengan kerja kerasnya, kakek berhasil memindahkan rumahnya ke pinggir jalan raya. Tentu saja, di rumah besar itu, banyak saudara dan keponakan yang membantu dan tinggal di rumah. Jadi rumahku jaman itu selalu ramai banyak orang. Ditambah lagi dengan anak kakekkku yang berjumlah 11 orang. Meski kemudian hanya 5 yang masih hidup sampai dewasa dan menikah.

Aku berusaha membayangkan suasana rumahku saat itu, yang pastinya hangat dan ramai dengan canda tawa, meski dengan kesederhanaanya. Tentu saja, pemikiran orang jaman dulu masih sangat sederhana dan tidak banyak menuntut. Apabila telah cukup makan sehari-hari, cukuplah sudah.

Jaman telah berganti dan suasanapun demikian. Sebagai generasi penerus dan keturunannya, yang dapat saya lakukan adalah selalu mendoakan beliau, semoga Beliau tenang di sisiNya. amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar